Senin, 18 Januari 2010

“APA ITU PENGERTIAN FITNAH, BURUK SANGKA
DAN KHIANAT ?”
Oleh : H. Sunaryo A.Y.



Saudaraku sesama muslim.
Alhamdulillah, jumpa lagi kita kali ini dakwah saya (lewat tulisan) seperti judul tersebut di atas, semoga menjadi penawar yang menyejukkan dan dapat menjadi sebagai tambahan ilmu buat sidang pembaca. Sehingga dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi kian dapat tersebar luaskan.

Saudaraku, kata fitnah di dalam bahasa Arab berarti namimah yaitu menyebarluaskan berita jelek atau cerita yang tidak benar tentang suatu hal atau orang lain, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Fitnah ini sebenarnya ditegakkan atas tiga perkara yaitu kedustaan, kedengkian dan kemunafikan. Fitnah sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Fitnah tidak sekedar menyebarkan berita buruk, tetapi juga mengadu domba dan memutar balikkan fakta. Sehingga Allah SWT menggambarkan, bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.

• Perhatikan Firman Allah SWT :
“Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah : 191)

Luka yang ditimbulkan oleh tajamnya pedang, mungkin masih bisa diobati. Tetapi luka yang ditimbulkan oleh tajamnya lisan (omongan, kata-kata) susah sekali dicari penawarnya. Itulah mengapa fitnah dikatakan lebih kejam dari pembunuhan. Saudaraku, seorang penyair Arab dalam sebuah syairnya mengatakan :
“Luka tombak ada obatnya. Luka lidah penawarnya tiada.”

Sementara dampak yang ditimbulkan oleh fitnah selalu negatif, tidak pernah ada yang positif. Karena itulah fitnah dikatakan berbahaya. Adapun bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh fitnah antara lain sebagai berikut :
a. Menimbulkan kesengsaraan, baik bagi si pemfitnah maupun bagi yang di fitnah.
b. Menimbulkan keresahan ditengah masyarakat
c. Merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan
d. Mencelakakan orang lain
e. Merugikan orang lain dan diri sendiri
f. Masuk Neraka (mendapat siksa)
g. Diancam tidak masuk Syurga, sebagaimana Hadist Nabi SAW tersebut ini :


• Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak akan masuk Syurga orang yang suka adu domba (memfitnah).” (HR. Bukhari)

Lantas bagaimana cara menghindari penyakit fitnah itu ? Untuk menghindari penyakit fitnah itu ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu :
a. Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap masalah
b. Jangan membuka rahasia (aib) orang lain
c. Menumbuhkan rasa persamaan dan kasih sayang sesama manusia
d. Mengamalkan ajaran agama
e. Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT dan merasa cukup atas segala pemberian Allah.
f. Menjauhi seluruh penyebabnya, seperti mengikuti hawa nafsu, persaingan duniawi yang tidak bersih dan lain-lain
g. Berhati-hati dalam berbicara, bertindak dan dalam menerima kebenaran informasi.


Saudaraku, beralih kita kepada masalah buruk sangka. Buruk sangka di dalam bahasa Arab disebut Su’uzhan, artinya prasangka-prasangka buruk atau menyangka buruk terhadap Allah dan Rasul-Nya dan juga berprasangka buruk serta curiga kepada orang lain tanpa alasan.

• Kita perhatikan Firman Allah SWT yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an :
Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang dihatinya ada penyakit berkata : “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kita, melainkan tipuan.” (QS. Al-Ahzab : 12)

• Dan di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)

Ayat pertama menjelaskan kepada kita bahwa orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit hati itu menganggap bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan apa-apa kepada manusia. Inilah yang dinamakan su’uzhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk su’uzhan kepada Allah adalah kita menganggap Allah tidak mengabulkan do’a kita, Allah menciptakan kita dalam kondisi yang jelek dan lain-lain. Di dalam ayat kedua di atas ada 3 (tiga) perbuatan yang harus dihindari oleh orang-orang yang beriman. Ketiga hal tersebut adalah :

a. Berprasangka buruk
b. Memata-matai orang (mencari-cari kesalahan orang lain)
c. Menggunjing orang lain


Buruk sangka adalah dosa, karena ia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanakah perasaan orang yang tidak mencuri, kemudian disangka bahwa dia mencuri, sehingga semua orang bersikap lain kepada dirinya ? Rasulullah SAW sangat melarang orang berburuk sangka.

• Perhatikan Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka, karena sungguh buruk sangka itu adalah perkataan yang paling bohong. Dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah kamu saling berebut dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling membelakangi dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, Muslim dan Daud)

Mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang, sedang ia tidak hadir. Hal ini semua merupakan bentuk-bentuk kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia keburukan dan kebusukan seseorang, ketika orang orang itu tidak ada. Dan ketika orang itu datang, maka pembicaraan pun berhenti dengan sendirinya, kemudian berganti dengan memuji dan menyanjung. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut.

Saudaraku, buruk sangka adalah dosa dan setiap dosa akan berakibat sengsara bagi siapa saja yang melakukannya. Sementara akibat yang ditimbulkan dari berburuk sangka antara lain adalah : Dapat memutuskan tali silaturahmi, merugikan orang lain dan diri sendiri, mengotori pikiran, dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya serta akan dibenci dan dihindari (dikucilkan) orang lain.

Kemudian seperti penyakit hati lainnya maka penyakit buruk sangka ini disebabkan oleh : Menuruti hawa nafsu, menuruti bujukan syetan, tidak percaya diri, iri dengan orang lain dan kurangnya mensyukuri nikmat Allah SWT. Lantas, bagaimana cara menghindari buruk sangka itu ? Berikut ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk kita menghindari penyakit buruk sangka, yaitu : Usahakan membayangkan bagaimana sedihnya kalau diri kita dijadikan objek buruk sangka, dengan demikian tentunya bahwa kita juga tidak mau kalau diri kita dijadikan objek, begitu juga orang lain. Lakukan yang positif misalnya dengan mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan kesadaran dan hormat menghormati dan jangan dilupakan isi rohani kita dengan santapan-santapan bergizi seperti tholabul ilmi, dengan banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama.

Saudaraku, sekarang pembahasan kita sampai pada setentang pengertian khianat. Khianat artinya mengingkari tanggung jawab, berbuat tidak setia atau melanggar (mengingkari) janji yang telah dibuat. Secara luas, khianat berarti mengingkari tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya, baik datangnya dari orang lain maupun dari Allah SWT. Penyakit hati khianat ini muncul karena adanya dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan sahabat, kelompok seperjuangan atau negara. Selain itu, khianat juga biasanya muncul karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang banyak dengan jalan pintas.

• Didalam kitab suci Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)

• Dan di dalam sebuah Hadist, bersabda Rasulullah SAW :
“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang telah mempercayai mu dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. Ashabus Sunan)

Hadist di atas memerintahkan kita untuk menunaikan amanat dan melarang kita berkhianat. Ada juga hadist lain yang menyatakan bahwa salah satu dari ciri (tanda) orang munafik adalah berkhianat.

Khianat merupakan penyakit yang sangat berbahaya, baik bagi diri penderitanya maupun bagi masyarakat dan bahkan negaranya. Dan di antara akibat yang ditimbulkan oleh penyakit khianat antara lain adalah : Merugikan diri sendiri dan orang lain, tidak akan dipercaya orang, menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya serta kelak apabila meninggal dunia masuk neraka.

Kemudian bagaimana cara menghindari penyakit Khianat itu ? Saudaraku, ada beberapa cara menghindari penyakit khianat, antara lain seperti tersebut ini : Membiasakan diri melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap segala hal dihadapi, menyadari akibat perbuatan khianat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, jujur terhadap keadaan dan selalu mensyukuri nikmat serta selalu berdo’a kepada Allah SWT agar terhindar dari penyakit khianat.

Saudaraku, saya sudahi dulu tulisan (artikel) religius saya ini, harapan saya semoga tulisan ini mendapat tempat di hati setiap pembaca, sehingga nawaitu penulis yang mengketengahkan artikel ini sebagai syiar dakwah menjadi dapat tersebar luaskan…


***
(Bahan-bahan (materi) diambil dan dikutip dari buku Islam Agamaku. Oleh : Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Yang disusun berdasarkan : Integrasi Budi Pekerti Kedalam Pendidikan Agama Islam Dan Pola Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Yang telah disesuaikan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 118/u/2002)
  1. Pengertian Fitnah.

Fitnah adalah suatu sipat yang tercela , suatu usaha seseorang untuk mencemarkan nama baik seseorang, sehingga orang yang tidak mengerti persoalan menganggap bahwa fitnah itu benar. Sehingga opini masyarakat akan negative kepada kelompok atau seseorang yang kena fitnah tersebut. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan . .lihat al-Qur’an online di google

Artinya:”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”( QS Al Baqarah : 192-193 )

Kita sering mendengar istilah “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Namun rupanya tidak banyak yang tahu darimana istilah ini berasal, dan apa makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Pokoknya asal pakai saja, dan ngaku-ngaku itu ajaran Islam, karena kalimat tersebut ‘kelihatannya’ berasal dari Al Qur’an.

Dalam bahasa sehari-hari kata ‘fitnah’ diartikan sebagai penisbatan atau tuduhan suatu perbuatan kepada orang lain, dimana sebenarnya orang yang dituduh tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Maka perilaku tersebut disebut memfitnah. Tapi apakah makna ‘fitnah’ yang dimaksud di dalam Al Qur’an itu seperti yang disebutkan itu? Mari kita telaah.

Di dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh (2) ayat 191 tercantum kalimat “Wal fitnatu asyaddu minal qotli….” yang artinya “Dan fitnah itu lebih sangat (dosanya) daripada pembunuhan..”. Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Imam Abul ‘Aliyah, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Al Hasan, Qotadah, Ad Dhohak, dan Rabi’ ibn Anas mengartikan “Fitnah” ini dengan makna “Syirik”. Jadi Syirik itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.

Ayat tersebut turun berkaitan dengan haramnya membunuh di Masjidil Haram, namun hal tersebut diijinkan bagi Rasulullah saw manakala beliau memerangi kemusyrikan yang ada di sana. Sebagaimana diketahui, di Baitullah saat Rasulullah saw diutus terdapat ratusan berhala besar dan kecil. Rasulullah diutus untuk menghancurkan semuanya itu. Puncaknya adalah saat Fathu Makkah, dimana Rasulullah saw mengerahkan seluruh pasukan muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik yang ada di Makkah.

Kemudian juga di surat Al Baqoroh (2) ayat 217, disebutkan “Wal fitnatu akbaru minal qotli…” yang artinya “Fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan..”. Ayat ini turun ketika ada seorang musyrik yang dibunuh oleh muslimin di bulan haram, yakni Rajab. Muslimin menyangka saat itu masih bulan Jumadil Akhir. Sebagaimana diketahui, adalah haram atau dilarang seseorang itu membunuh dan berperang di bulan haram, yakni bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Melihat salah seorang kawan mereka dibunuh, kaum musyrikin memprotes dan mendakwakan bahwa Muhammad telah menodai bulan haram. Maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kekafiran penduduk Makkah yang menyebabkan mereka mengusir muslimin dan menghalangi muslimin untuk beribadah di Baitullah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang beriman.

Tak ada satupun ayat di dalam Al Qur’an yang mengartikan kata “fitnah” dengan arti sebagaimana yang dipahami oleh orang Indonesia, yakni menuduhkan satu perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang dituduh. Kata ‘fitnah’ di dalam Al Qur’an memang mengandung makna yang beragam sesuai konteks kalimatnya. Ada yang bermakna bala bencana, ujian, cobaan, musibah, kemusyrikan, kekafiran, dan lain sebagainya. Maka memaknai kata ‘fitnah’ haruslah dipahami secara keseluruhan dari latar belakang turunnya ayat dan konteks kalimat , dengan memperhatikan pemahaman ulama tafsir terhadap kata tersebut.

Memaknai kata-kata di dalam Al Qur’an dengan memenggalnya menjadi pengertian yang sepotong-sepotong serta meninggalkan makna keseluruhan ayat, hanya akan menghasilkan pemahaman yang melenceng dan keliru akan isi Kitabullah. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyalahgunakan Kitabullah demi mengesahkan segala perilakunya. Dan ini juga dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyelewengkan makna Al Qur’an dari pengertian yang sebenarnya.

Salah satu karunia Allah yang paling agung adalah nikmat lisan dan berbicara. Namun kadang saja seseorang mengufurinya dengan berani melanggar ketentuan-ketentuan syariatNya, misalnya dengan melakukan ghibah atau menggunjing saudaranya. Padahal pemicu putusnya ikatan tali ukhuwah dan timbulnya percekcokan bahkan permusuhan antara sesama kaum muslimin kerap terjadi akibat ghibah, sehingga tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini hukumnya adalah haram berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ para ulama.

Allah Jalla Jalalahu berfirman (artinya):

Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seseorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Al Hujurat : 12)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلْ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang yang mengucapkan iman dengan lisannya namun iman tersebut belum masuk di dalm hatinya, janganlah kalian membuka aurat mereka, sebab siapa saja yang membuka aib saudaranya muslim maka Allah akan membuka aibnya, dan barangsiapa yang aibnya telah dibuka oleh Allah maka Allah pasti akan menampakkannya meskipun tersembunyi di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Pengertian Ghibah

Ghibah adalah engkau membicarakan saudaramu tentang suatu hal yang ia tidak senangi jika mendengarkannya. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “ Tahukah kalian ghibah itu? Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka beliau bersabda, “Ghibah yaitu engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ditanyakan, “bagaimana pendapat Anda jika apa yang saya ucapkan memang benar adanya? Nabi menjawab, “Jika apa yang engkau katakan memang benar adanya maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, dan jika apa yang kamu katakan tidak benar aanya maka berarti kamu telah menuduhnya dengan berdusta atasnya” (HR. Muslim).

Bentuk-bentuk Ghibah

Ghibah terbagi menjadi berbagai bentuk yang berbeda-beda, diantaranya yaitu menyebutkan kekurangan dan kejelekan seseorang baik mengenai bentuk tubuhnya misalnya dengan berkata bahwa perawakannya pendek, kulitnya hitam, matanya sipit, atau mengenai akhlaknya , misalnya dengan berkata ia seorang pemarah, mudah tersinggung dan pelit, atau mengenai nasabnya misalnya dengan berkata keturunannya lemah dan berpenyakit. Demikian pula terkadang seseorang menjelek-jelekkan saudaranya dengan cara memujinya namun tujuan sebenarnya adalah untuk mengunjingnya misalnya ia berkata alangkah pandainya si fulan padahal ia adalah orang yang tidak pandai. Termasuk juga bentuk ghibah jika mengikuti gaya atau tingkah laku seseorang misalnya dengan meniru cara jalannya dengan tujuan melecehkannya. Dan ghibah yang paling berbahaya jika bercampur dengan riya’ misalnya dia berkata segala puji bagi Allah yang tidak memberikan ujian kepada kita seperti si fulan yang sekarang ini nampak lesu beribadah. Maka jadilah ia seorang yang mengumpulkan banyak kejelekan yaitu ghibah, riya dan menganggap dirinya suci.

Ghibah tidak saja hanya terbatas pada gunjingan yang diucapkan lewat lisan, akan tetapi termasuk juga dengan isyarat, tulisan, gerakan dan segala sesuatu yang bisa dipahami maksudnya maka semuanya masuk kategori ghibah. Dari Aisyah berkata : “Masuk ke rumah kami seorang wanita, tatkala ia telah pergi aku berisyarat dengan tanganku (untuk menunjukkan) bahwa ia seorang wanita yang pendek maka Nabi bersabda : Engkau telah melakukan ghibah”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Sebab-sebab Timbulnya Ghibah

Ada beberapa sebab yang bisa memicu seseorang untuk melakukan ghibah, diantaranya adalah:

1. Timbulnya amarah karena merasa tersinggung atau haknya dirampas, maka untuk mencairkan amarahnya, ia pun melakukan ghibah.

2. Keinginan untuk mengangkat diri sendiri dan menjatuhkan saudaranya, misalnya ia berkata: ‘si fulan itu bodoh, pemahamannya dangkal’, dengan tujuan agar orang lain simpatik kepadanya dan meninggalkan saudaranya.

3. Bersenda gurau dengan lelucon-lelucon, anekdot atau lawakan yang membicarakan perihal seseorang untuk membuat orang-orang tertawa dan bahkan sebagian dari mereka mejadikan hal ini sebagai profesi dan mata pencahariannya, wal’iyadzu billah.

4. Timbulnya hasad karena orang-orang senantiasa memujinya dan mencintainya, maka ia pun menjelekkan orang tadi agar nikmat itu hilang darinya.

5. Berburuk sangka terhadap saudaranya, maka tanpa disadari ia pun telah menggunjingnya dan mejelek-jelekkannya.

6. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah dan adzabNya sehingga dengan sengaja ia pun melakukan ghibah.

Ghibah yang Dibolehkan

Walaupun pada asalnya ghibah itu dilarang akan tetapi ada beberapa keadaan tertentu, syariat kemudian memberikan rukhsoh /keringanan untuk melakukannya, diantaranya yaitu:

1. Merasa terzhalimi oleh seseorang, maka tidak mengapa baginya mengadukan kejahatannya kepada penguasa atau pihak-pihak yang berwenang. Ia boleh mengatakan bahwa ‘si fulan telah menzalimiku dengan berbuat begini dan begitu’.

2. Meminta fatwa, seperti ucapan seseorang kepada mufti ‘si fulan telah menzalimiku lalu bagaimana aku dapat berlepas diri dari kejahatannya’. Alangkah baiknya jika tidak menyebut nama dan identitasnya namun seandainya mesti disebutkan karena adanya maslahat, maka hal itu dibolehkan sebagaimana hadits Hindun tatkala berkata di hadapan Nabi, “sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir”, sementara Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mengingkari ucapannya.

3. Memperingatkan kaum muslimin dari perkara-perkara buruk, seperti munculnya fatwa-fatwa dari ahli bid’ah sehinggga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Maka tidak mengapa menyebutkan keburukan-keburukannya itu, namun tidak diperbolehkan membicarakan aibnya yang lain, kecuali ada sebab-sebab tertentu yang membolehkannya. Begitupula misalnya jika seseorang dimintai pendapatnya di dalam memilih pasangan hidup, maka ia boleh memberitahukan keadaan orang yang hendak dinikahinya secara riil, tapi bukan karena hendak menggunjingnya. Fatimah binti Qais pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menanyakan tentang perihal Abu Jahm bin Hudzaifah dan Muawiyah bin Abi Sufyan ketika keduanya datang melamarnya, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ لَا يَرْفَعُ عَصَاهُ عَنْ النِّسَاءِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ وَلَكِنْ انْكِحِي أُسَامَةَ

Adapun abu Jahm, ia adalah orang yang tidak mengangkat tongkatnya dari wanita sedangkan Muawiyah adalah seorang miskin tidak memiliki harta akan tetapi pilihlah Usamah” (HR. Tirmidzi)

4. Mengidentifikasi seseorang apabila ia terkenal dengan julukan tertentu seperti si buta, pincang dan tuli tetapi bukan dimaksudkan untuk merendahkannya.

5. Orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa seperti meminum khamar dan berjudi secara terang-terangan maka boleh menyebutkan kemungkarannya itu, tetapi tidak boleh membicarakan aibnya yang lain.

6. Di dalam ilmu jarh wat ta’dil boleh seorang alim menyebutkan cacat seorang perawi hadits seperti dengan berkata ‘si fulan adalah seorang pendusta, pemalsu hadits, jelek hapalannya’ dan sebagainya.

Bertaubat dari Ghibah

Para ulama telah bersepakat bahwa pelaku ghibah wajib bertaubat dengan meninggalkan perbuatannya sepenuhnya, menyesal dan bertekad untuk tidak lagi mengulanginya, sebab ia telah melakukan dua pelanggaran :

1. Pelanggaran terhadap hak-hak Allah dengan melakukan laranganNya.

2. Pelanggaran terhadap hak-hak makhluk dengan merendahkan kehormatan saudaranya.

Namun mereka (para ulama) berbeda pendapat apakah ia harus datang mengemukakan kesalahannya dan minta agar dihalalkan (dimaafkan) atau tidak perlu?. Tetapi pendapat yang kuat -Insya Allah- yaitu jika orang yang digunjing belum sempat mengetahui atau mendengarnya , maka cukuplah pelakunya memohonkan ampun baginya dan menyebut-nyebut kebaikannya di depan orang banyak, ia tidak perlu menperdengarkan ghibah yang dilimpahkan kepadanya sebab hal itub dapat mengecewakannya. Imam Mujahid berkata :

Kaffarat (tebusan) tindakanmu yang memakan daging saudaramu ialah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut sudah meninggal dunia”.

Namun apabila berita itu telah sampai ke telinganya maka wajib baginya untuk mendatanginya dan meminta maaf. Wallahu ta’ala A’lam.

Oleh karenanya merupakan keutamaan yang sangat besar ketika seorang mukmin senantiasa dapat menjaga lisannya dan tidak menggunjing saudaranya muslim. Diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu beliau bertanya kepada Nabi, Wahai Rasulullah, orang muslim manakah yang paling utama? Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Yakni orang yang saudaranya muslim lainnya selamat dari (kejahatan) lisan dan tangannya. (HR. Muslim).

Perlu juga disadari bahwa segala perbuatan dan amalan baik atau buruk, tidak pernah lepas dari pengawasan Allah dan sekecil apapun ia, pasti akan diperlihatkan balasannya.Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (artinya) :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (Al Israa : 36).

Demikian pula halnya dengan lisan, sehingga tidak ada satu kalimat atau kata bahkan huruf sekalipun yang diucapkan olehnya kecuali pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak pada hari pembalasan. Sehingga barang siapa dapat menjamin atas lidahnya maka Allah pun akan menjamin baginya surga. Dan sebaliknya, barang siapa yang lisannya banyak bermaksiat dan larut dalam membicarakan aib saudaranya maka balasannya adalah AdzabNya.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu Anhu ,Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

Barangsiapa yang bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku menjamin untuknya surga” (HR. Bukhari).

Dari Anas Radhiyallahu Anhu , ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati sekelompok orang yang memiliki kuku cakar dan mereka mencakari wajah dan dada mereka sendiri, maka aku bertanya, “siapakah mereka itu wahai Jibril? Maka Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang dulunya memakan daging manusia dan menggunjing kehormatan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Akhirnya marilah kita mendengarkan penuturan para ulama salaf tentang buruknya perbuatan ghibah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sungguh mengherankan, bahwasanya manusia begitu mudah memelihara dan menjaga diri dari makan haram, berbuat zhalim, zina, mencuri, dan lainnya, namun ia kesulitan memelihara gerakan lisannya. Berapa bayak orang yang bisa memelihara diri dari dosa dan zhalim, namun lisannya mengembara membicarakan aib orang, baik yang masih hidup maupun yang telah mati tanpa memperdulikan apa yang ia ucapkan.” Sufyan bin Hushain berkata, “Aku pernah duduk di sisi Iyas bin Muawiyah, maka lewatlah seorang laki-laki, lalu aku membicarakan (aibnya). Maka Iyas pernah berkata kepadaku, Diamlah kamu! Apakah kamu pernah berperang malawan Romawi? Aku jawab, tidak. Lalu ia bertanya lagi, pernahkah kamu berperang melawan Turki? Aku jawab, tidak. Lalu dia berkata, Romawi selamat darimu, Turki selamat darimu dan saudaramu muslim tidak selamat darimu. Sufyan berkata, Maka setelah itu saya tidak pernah mengulangi hal itu.”

Imam Malik berkata, Aku telah mendapati di negeri ini (Madinah) suatu kaum yang tidak punya aib, namun kemudian mereka membuka aib orang sehingga jadilah mereka manusia yang memiliki aib. Dan aku juga mendapati kaum yang memiliki aib, namun mereka diam (tidak menggunjing)aib orang, sehingga aib mereka pun juga hilang terlupakan.”

PERBEDAAN ANTARA NASEHAT DAN GHIBAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya
menuliskan sebuah bab yang artinya, "Perkara-perkara
yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk
ghibah", di antaranya beliau menyebutkan dalam point
yang kedelapan:
"Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada
seseorang dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, di mana
tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain
lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit
untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut
menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan
nampak dari dia keinginan yang kuat untuk beertaubat,
akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah
dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib
orang tersebut di hadapan manusia, "Si fulan melakukan
ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya
menasehatinya."
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan
cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut
menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma'ruf nahi munkar agar yang
ma'ruf tersebar di antara manusia, dan yang mungkar
menjadi mati tak berkutik ?!
Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan
komentar, padahal tujuan telah tercapai?!
Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak
kepada yang ma'ruf telah diperintah oleh syetan, dan
orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus
kedalam kemungkaran."8)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
berkata,"Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah
adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka
memberi peringatan kepada seorang muslim dari
bahayanya ahli bid'ah, penyebar fitnah, penipu, atau
perusak..."
Sampai beliau berkata,
"Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam
rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya
kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang
demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal
kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang
lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai
kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau
menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka
maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan
api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang
membakar kayu bakar."9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
"Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang
tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam:
Pertama: Menyebutkan perbuatannya.
Kedua: Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia
masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh
Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib
mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah
termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam
perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka
wajib ia memujinya pula ..."10)
Sampai beliau berkata,
"Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan
menganjurkannya, serta melarang keburukan dan
memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan
keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam. Apabila mendengar
seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang
tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan
syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu
batil, meskipun seratus syarat."11)
"Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku
perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang
paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan
batasan-batasannya di antara kalian."12)
"Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya
mengatakan, "Adapun saya akan selalu berpuasa tidak
akan berbuka," dan ada lainnya mengatakan, "Adapun
saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur," dan
orang lainnya berkata, "Saya tidak akan menikahi
wanita," dan yang lainnya mengatakan, "Saya tidak akan
makan daging." Tetapi saya sendiri berpuasa dan
berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita,
makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap
sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku."13)
Sampai beliau berkata,
"(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang
lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan
dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak
menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka
menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya,
sebagaimana Hindun berkata, "Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak
memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku,
(kecuali saya mengambil harta darinya tanpa
sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami)," maka
beliau menjawab, "Ambillah apa-apa yang mencukupimu
dan anakmu secukupnya."14) (Muttafaq alaih).
Sampai beliau berkata,
"Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada
kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka
sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah
binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam tentang siapa yang akan
dinikahinya ia berkata, "Abu Jahm dan Muawiyah telah
meminang saya." Maka beliau memberikan nasehat,
"Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki
harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka
memukuli wanita" dan diriwayatkan "ia tidak pernah
meletakkan tongkat dari bahunya", maka beliau
menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin
tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi
menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini
adalah nasehat kepadanya - meskipun mencakup
penyebutan aib si peminang .Dan termasuk juga di
dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang
akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat
kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia,
bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia,
dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka
bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan
hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para
penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan
selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa
nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi,
sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda
:
"Dien itu nasehat, dien itu nasehat." Mereka berkata,
"Kepada siapa wahai Rasulullah?" Beliau bersabda,
"Kepada Allah, kepada Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, dan
kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum
muslimin pada umumnya."15)
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai
ahli syura, "Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai
amir," lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam
satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat,
beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka
sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan
maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum
hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau
yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata,
"Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan
Al-Laits bin Sa'ad, saya kira dia, dan Al-Auzai
mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau
tidak hafal. Mereka semuanya berkata, 'Jelaskan
keadaannya'." Dan sebagian orang berkata kepada Imam
Ahmad bin Hambal, "Sesungguhnya berat bagi saya untuk
mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu." Maka
beliau berkata, "Apabila engkau diam dan saya diam,
maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat
membedakan yang shahih dan bercacat?!"
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para
imam ahli bid'ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah
ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah, maka
penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari
bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin
Hambal, "Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang
puasa dan shalat serta ber'itikaf ataukah orang yang
membantah ahli bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila
dia shalat, puasa dan i'tikaf maka hanya untuk dirinya
sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal
itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih
utama." Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini
untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam
dien mereka. Maka membantah ahli bid'ah termasuk jihad
di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan,
manhaj, dan syari'atNya serta menolak kejahatan dan
permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang
Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien
ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari
sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena
apabila mereka menguasai, mereka hanya
menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati
dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha
menjajahnya pula, sedangkan ahli bid'ah mereka sejak
awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda,
"Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa
kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada
hati-hati kalian dan amal-amal kalian"16)
Dan Allah berfirman dalam kitabNya :
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa."
(Surat Al-Hadid 25)
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan
Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi,
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka
tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi
petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
"Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan
Penolong." (Surat Al-Furqan 31)
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu
pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan
kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di
Makkah,Allah belum memerintahkan beliau mengangkat
pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai
pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang
kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah
memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua
kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya,
"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada
mereka." (Surat At-Taubah 73)
Apabila orang-orang munafik berbuat bid'ah yang
bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu
tidak dijelaskan kebid'ahan ini kepada manusia, maka
rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini,
sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak
pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien
tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan
tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan
orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa
bid'ah-bid'ah orang-orang munafik tersebut telah
meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa
ucapan-ahli bid'ah tersebut benar, padahal
sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka
itu juru da'wah yang mengajak kepada bid'ah-bid'ah
orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman,
"Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya
mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan
belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka
dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di
antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang
amat suka mendengarkan perkataan mereka." (Surat At
Taubah 47)
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga,
bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih
besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang
mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka
telah terperosok kepada bid'ah-bid'ahnya orang-orang
munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya
peringatan dari bid'ah-bid'ah tersebut, meskipun harus
dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan
orang-orangnya, bahkan meskipun bid'ah yang mereka
sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik,
tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan
bahwasanya bid'ah tersebut adalah petunjuk dan
kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya
bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan
mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan
orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang
yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang
salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang
salah itu seorang mujtahid 17) yang telah diampuni
kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya
yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan
perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan
dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut
berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan
sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah
syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam
menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya
sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah
telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan
cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan
taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian
dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai
orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seperti
Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum
muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah
Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang
sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan
Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini
disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum
diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau
seorang mu'min yang berbuat kesalahan disebutkan
sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka
tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa
ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam
bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari
ridha Allah Subhana wa Ta'ala, dan agar kalimat Allah
menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik
Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang
demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan
fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan
mufti, sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda,
"Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di
neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui
kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang
memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka
dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka
dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang
ia ketahui, maka dia di Neraka." 18)
Dan Allah Subhana wa Ta'ala berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kalian kerjakan." (Surat An-Nisaa 135)
sebagaimana terdapat dalam Shahihain (Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda:
"Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah
diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual
belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur
dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka
keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya,
tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan
(keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli
keduanya terhapus."
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal
tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila
ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud
berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka
kedudukannya seperti orang yang berperang dengan
jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara
dengan ikhlas karena Allah Ta'ala semata, maka ia
termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris
para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali
tidak menyalahi sabda beliau, "Ghibah itu menyebutkan
kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka
(apabila mendengarnya)," karena "Al-Akh" tersebut
sebagai mu'min, dan "Al-Akh" yang mu'min apabila ia
benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah
engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan
RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam
pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau
teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi
saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri,
atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila
ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang,
kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding
dengan berkurangnya keimanan dia." (Wallahul
Musta'an.)19)
Footnote:
8 "Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil
Mujtama'Al-Islami" hal.58
9 Ar-Ruuh, hal 357-358
10 Majmu'Fatawa juz 28 hal.225
11 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam Al Mukatab (2563) dari Aisyah."
12 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam kitab Al-I'tisham (7301) dari Aisyah dengan
lafadz yang mendekati."
13 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari
dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab
An-Nikah (1401/5)."
14 Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
15 H.R.Muslim
16 Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Muslim
dalam kitab Al-Birru was Shilah (2564/33-34) dan
H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143)."
17 Dari ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi
cambuk bagi kita semua selaku penuntut ilmu untuk
serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah
yang sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat
menimbang dan menilai ijtihad-ijtihad para ulama dalam
masalah tertentu yang seringkali mereka berbeda
pendapat didalamnya, lalu kita berusaha mentarjihnya
berdasarkan ilmu yang benar bukan berdasarkan hawa
nafsu.
Di antara buku-buku yang dinasehatkan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah kepada
para penuntut ilmu untuk mempelajarinya berkenaan
dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah bagi dien
yang mulia ini adalah :
1. I'lamul Muwaqi'in oleh Imam Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah rahimahullah
2. Irsyadul fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah
3. Tahshilul ma'mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan
rahimahullah (Nasehat mengenai masalah ini dapat
didengar dari kaset beliau yang berjudul Tidak
Berta'ashub)
18 H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu
Majah pada AlAhkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah.
(Majmu'atul Fatawa, juz 14 hal. 399)

Ghibah

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Alhamdulillahirobbil alamin. Allohumma sholli ala Muhammad, wa’alaa alihi washhbihi ajma’iin. Amiin.


Marilah kita sama-sama luruskan niat kita terlebih dahulu, bahwa kita berkumpul di majelis ini semata-mata dalam rangka mengharapkan ridho-Nya.

Baiklah, disini saya ingin berbagi pengalaman seputar masalah Ghibah (mengumpat/ngrasani/backbiting).

Terkadang kita berpikira bahwa kita sudah berusaha membebaskan diri dari makanan haram, seperti daging babi, alcohol dll.

Tapi sungguh kadang dengan “ringan”nya kita seolah sedang memakan daging bangkai saudara kita sendiri!!!!

berapa daging bangkai?, 2 atau 1kah 3 dalam sehari????? Astaghfirullohaladziem.

Kenapa?

Marilah kita simak firman Alloh dalam QS Al Hujurot ayat 12, yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka , karena sebagian

dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan

janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka

memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik

kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat

lagi Maha Penyayang . (QS Al-Hujurat:12)


Demikianlah …….Alloh mengumpamakan antara menggunjing (ghibah) dengan orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri.


Lalu Apakah ghibah itu ?


Sesuai apa yang diterangkan Nabi SAW: pada Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud : Nabi SAW bersabda : "Tahukah kamu apa ghibah itu ? Jawab sahabat : Allahu warasuluhu a'lam (Allah dan Rasulullah yang lebih tahu).


Kemudian Nabi SAW bersabda: Menceritakan hal saudaramu yang ia tidak suka diceritakan pada orang lain. Lalu Sahabat bertanya: Bagaimana jika memang benar sedemikian keadaan saudaraku itu ?


Jawab Nabi SAW : "Jika benar yang kau ceritakan itu, maka itulah ghibah, tetapi jika tidak benar ceritamu itu, maka itu disebut buhtan (tuduhan palsu, fitnah) dan itu lebih besar dosanya".

Dalam kitab al adzkar , Imam AnNawawy memberikan definisi : 'Ghibah, adalah menyebutkan hal-hal yang

tidak disukai orang lain, baik berkaitan kondisi badan, agama, dunia,

jiwa, perawakan, akhlak, harta, istri, pembantu, gaya ekspresi rasa

senang, rasa duka dan sebainya, baik dengan kata-kata yang gamblang,

isyarat maupun kode.

Di era sekarang ini, meng-ghibah (bukan hibah loh…) dapat dilakukan dengan tulisan, sms, email, bahkan lewat bahasa tubuh-pun bisa.

Adapun kalau sekedar membathin, belum bisa disebut ghibah, meskipun hal ini juga termasuk prasangka. Dalam QS Al Hujurat ayat 12 tadi disebutkan bahwa ber-prasangka pun kita sebaiknya berhati-hati, karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Dalam hal ini adalah prasangka yang buruk (su’u dzon). Sebaliknya kita dianjurkan untuk selalu berkhusnudzon atau prasangka yang baik.

Ghibah dikatakan mempunyai dosa ganda. Karena selain kita harus memohon ampun kepada Alloh, dan alloh maha pengampun atas dosa-dosa kita.

Namun, kita juga harus meminta maaf kepada orang kita gunjing tersebut, ini yang terkadang menjadi sulit bagi diri kita. Apalagi jika yang kita gunjing jumlahnya banyak sekali, naudzubillahi min dzaalik.

Dalam Sebuah hadit dari abu hurairoh, nabi Muhammad SAW bersabda :

Whoever has wronged his brother with regard to wealth or honor, should ask for his pardon (before his death), before he pays for it (in the Hereafter) when he will have neither a Dinar nor a Dirham. (He should secure pardon in this life) before some of his good deeds are taken and paid to this (his brother), or (if he has no good deeds) some of the bad deeds of this (his brother) are taken to be loaded on him.” (Reported by Al-Bukhari and Muslim)
Maaf ya textnya masih asli dalam bahasa inggris…tapi kurang lebihnya maksudnya begini: barangsiapa bersalah kepada saudaranya maka kita harus minta maaf kepada dia sebelum meninggal, karena jika tidak, maka amal kita akan dilimpahkan kepadanya, atau jika kita tak memiliki amal, maka amal buruk dia akan dilimpahkan kepada kita, Na’udzubillahimindzaalik.


Lalu, Apakah ghibah haram 100 persen?

Untuk beberapa kondisi, kita diperbolehkan untuk ber-ghibah, yaitu:

1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.


2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bantu membantu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil.


3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan contohnya: Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan


6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

Mungkin itu aja dulu ya. Marilah kita berdo’a dan berusaha agar lebih dapat menjaga lidah dan hati kita, amiiin.

ghibah

Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.

Ghibah Keji Dan Kotor

Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah, 187 Keutamaan Mencegah Gibah

Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya. "Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya". (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami'. 6238)